Orang yang mengaku kiri harus
mendukung Barcelona. Menang atau
kalah. Baik di masa kejayaan
maupun kehancuran. Kita tidak perlu
mempertanyakan lagi mengapa
Budiman Sudjatmiko, yang dulunya
PRD dan kini menyeberang masuk
PDI-P, membela Real Madrid. Apa
yang kita patut pertanyakan adalah
sudah pahamkah kita akan
permusuhan Barcelona dengan Real
Madrid? Sudah pahamkah kita akan
El Clasico?
Rivalitas antara Real Madrid dan
Barcelona sudah sejak lama bukan
sekedar masalah olahraga. Bahkan
rivalitas ini adalah masalah politis.
Ini tak bisa dilepaskan dari fakta
bahwa sejak awal 1930an Barcelona
telah memiliki reputasi sebagai
simbol kebanggaan dan identitas
Catalan, sekaligus menjadi simbol
perlawanan terhadap tendensi
sentralisasi Madrid. Pengorbanan
Barcelona pertama kali yang patut
diingat terjadi pada tahun 1936,
ketika Jenderal Francisco Franco
memulai serangan kudetanya
terhadap Republik Spanyol Kedua,
seorang presiden FC Barcelona, Josep
Sunyol, sekaligus seorang anggota
Republikan Kiri Catalonia dan Deputi
Cortes, ditangkap dan dieksekusi
tanpa pengadilan oleh pasukan
Franco, pasukan yang didukung
habis-habisan oleh fasis Hitler dan
rezim NAZInya. Disinilah seiring
dengan ditariknya garis tegas
pembeda antara lawan dan kawan,
konfrontasi melawan fasisme
dimulai. Bukan di Jerman, bukan di
Italia, dan bukan di Jepang, tapi di
Spanyol.
Bersama kalangan Komunis, Anarkis,
dan Independentis, FC Barcelona
termasuk dalam peringkat atas
daftar organisasi yang diburu oleh
Faksi Nasionalis. Ini terkait fakta
bahwa di bawah kediktatoran
Franco, mayoritas penduduk
Barcelona menentang rezim fasis
tersebut. Jangan lupakan juga
bahwa meskipun partai Sosialis
pertama di Spanyol memang
dibentuk di Madrid, sebagian besar
ideologi yang membentuk sejarah
Spanyol, mulai dari republikanisme,
federalisme, anarkisme, sindikalisme,
dan komunisme, datang dari daerah
Catalonia dimana Barcelona adalah
pusatnya. Selama rezim kediktatoran
Miguel Primo di Rivera dan juga
kediktatoran Francisco Franco,
semua bahasa dan identitas
kedaerahan ditekan dan dikekang.
Di masa inilah slogan FC Barcelona
ms que un club yang berarti
lebih dari sekedar Club,
dilahirkan.
Benar. Lebih dari Sekedar Club. 14
Juni 1925, massa di stadion mencerca
lagu nasional sebagai protes
spontan melawan kediktatoran
Miguel Primo de Rivera. Akibatnya
stadion tersebut ditutup selama
enam bulan dan Joan Gamper, salah
satu pendiri Barcelona dipaksa
mengundurkan diri dari
kepemimpinannya atas klub
tersebut. Ini tentu hanya contoh
kecil bukti sikap anti kediktatoran
dari Barcelona. Karena ketika Perang
Saudara Spanyol meletus di tahun
1936 akibat kudeta Jenderal Franco,
para pemain Barcelona bersama para
pemain Athletic Bilbao serentak
gantung sepatu dan angkat senjata.
Di sisi lain hubungan antara
perwakilan-perwakilan Senior Real
Madrid dan rezim Fraco itu sendiri
tidak pernah terbantahkan. Kata
Real dari Real Madrid itu sendiri
merupakan padan kata bagi Royal
dalam bahasa Spanyol yang tidak
saja menunjukkan pendiriannya
yang pro monarki/feodal namun
bahkan juga merupakan
anugerah yang diberikan oleh
Raja Alfonso XIII. Keberpihakan
Madrid juga muncul dalam bentuk
keberpihakan pada Jenderal Franco.
Sebagai ganjarannya pada Copa del
Generalisimo, pada 13 Juni 1943, Real
Madrid berhasil mengalahkan FC
Barcelona lewat skor 11-1tentunya
dengan bantuan intimidasi dari
polisi. Dalam ancaman yang terkenal,
dan diingat dengan betul baik oleh
FC Barcelona dan kaum Catalan,
rezim penguasa memberikan
pernyataan bahwa merupakan
kebaikan hati rezim kalau para
pemain Barcelona masih diijinkan
bermain sepak bola dan bukannya
diusir dari Spanyol.
Sehingga bagi Catalan, Real Madrid
dianggap sebagai klub yang lekat
dengan sikap pro-kemapanan dan
atau pro-establishment. Apalagi ini
diperparah dengan munculnya
kelompok hooligan Real Madrid yang
condong ke fasisme pada tahun
1980. Sebaliknya, FC Barcelona,
dianggap sebagai poros alternatif
terhadap konservatisme Real Madrid.
Bahkan berdasarkan polling Pan-
Hispanic yang diadakan oleh Centro
de Investigaciones Sociologicas (CIS),
pengikut Real Madrid cenderung
memiliki pandangan politik sayap
kanan, sementara sebaliknya,
pendukung Barcelona memiliki
pandangan politik sayap kiri.
El Clasico dengan demikian bukan
sekedar rivalitas klub sepakbola. El
Clasico bukan sekedar laga antara
dua musuh bebuyutan. Melainkan
juga merupakan miniatur reinkarnasi
Perang Saudara Spanyol (Fasisme vs
Demokrasi dan Sosialisme) dengan
Real Madrid mewakili sayap kanan
yang harus menghadapi perlawanan
dari Barcelona, sang sayap kiri.
Apa yang utama bukanlah apakah
Barcelona hari ini akan menang atau
kalah. Apa yang penting bukanlah
apakah Barcelona akan hancur atau
berjaya. Karena dalam Perang
Saudara Spanyol pun Barcelona
bersama kelompok pro demokrasi,
pro sosialisme, dan anti fasisme juga
kalah terhadap kediktatoran
Jenderal Franco yang didukung
penuh oleh blok fasisme.
Apa yang utama dan penting adalah
sikap dan keberpihakan. Terutama di
masa-masa sulit. Bahwa meskipun
kita kalah, kita telah berjuang sekuat
tenaga, dan kita telah melawan
dengan segenap daya dan upaya.
Atas hal itu nama Barcelona lebih
harum dalam sejarah. Ia diabadikan
dalam film baik mulai La Ciutat de
Barcelona, Lauberge espagnole,
Revolution 1939, hingga Vicky,
Christina, Barcelona. Ia diabadikan
bahkan lebih banyak lagi dalam lagu
dan karya sastra, Barcelona sebuah
album kolaborasi Freddie Mercury
dan Montserrat Caball, (Cintaku di)
Barcelona, Tierra y Libertad (Land
and Freedom) karya Ken Loach, From
Whom The Bell Tolls karya
Hemingway, hingga Homage to
Catalonia karya George Orwell.
Demikianlah sejarah memberi
tempatnya yang lebih adil bagi
Barcelona. Sedangkan Madrid?
Biarlah sejarah pula yang
menjawabnya.
*dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar